Jumat, 17 Oktober 2014

Semburat Jingga yang Menawan di Pelabuhan Bima (27 September 2014)









Tulisanku yang ini sebenarnya lanjutan dari tulisan sebelumnya (baca: Radu).

Sepulangnya dari Pantai Radu, jadwalku yang sebenarnya adalah futsal. Namun karena kakiku masih belum bisa digunakan untuk bermain bola, aku mencari kegiatan lain. Tak puas karena tak ada foto bagus terambil waktu di Radu, otakku berputar mencari objek pemandangan di kota yang sekiranya akan bagus ketika sunset. Pikiranku kemudian langsung tertuju ke Pelabuhan Bima, yang belum pernah ku datangi waktu itu. 

Pelabuhan Bima terletak di Desa Kolo, Kecamatan Asakota, Kota Bima. Aktivitas utama di pelabuhan ini adalah untuk angkutan barang. Namun ada juga kapal penumpang dari pelabuhan ini menuju Labuan Bajo. Jadi selain dari Sape yang memang lebih dekat ke Labuan Bajo, pelabuhan Bima juga dapat menjadi alternatif jalur penyeberangan menuju kesana, yang tentu akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

Menurutku di sini merupakan spot hunting foto yang sangat bagus, selain banyak kapal-kapal besar, baik kapal barang maupun kapal penumpang, yang tentunya sangat bagus untuk modelling. Namun tak seperti di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, di sini kita bisa mendapatkan bonus tambahan yaitu view sunset dan after sunset yang sangat menawan. Warna langit dari jingga hingga ungu dapat kita lihat dengan mata telanjang disini. Subhanallah :)






Kamis, 09 Oktober 2014

Pantai Radu, Wera (27 September 2014)

(view Gunung Sangiang dari Tanjakan Radu, sensor kameraku kemasukan debu --")

  
Sudah lebih dari dua minggu tak sempat ku update blog ini, akibat kesibukan yang membuatku tak pernah sempat untuk menulis. Tapi bukan berarti aku tak sempat jalan-jalan, karena itu wajib hukumnya untuk menghindari stres berlebihan :D

Kali ini akan kuceritakan perjalananku bersama teman-teman kosku ke Pantai Radu, Wera, Bima.

Berawal dari informasi simpang siur yang kudapatkan dari teman kantor, ku ketahui kalau Wera mempunyai pantai-pantai yang indah, dan yang paling penting masih terjaga keasriannya. Maka tentu saja langsung ku ajak teman-teman kos untuk berlibur kesana pada akhir pekan, tepatnya hari Sabtu 27 September 2014.

Ini memang ideku untuk berlibur ke Pantai Radu, namun aku tak punya gambaran sama sekali bagaimana untuk bisa sampai kesana, teman-teman yang lain pun tak ada satu pun yang tahu dimana Pantai Radu itu, yang kutahu hanya Pantai Radu itu berada di Wera. Dari kami bertujuh ada dua yang sudah pernah ke Wera, Yaya dan Panji, hanya berbekal tahu jalan menuju Wera kami lanjut saja tanpa bertanya dimana itu Pantai Radu, sedikit nekat memang tapi justru itu yang membuatnya semakin menarik.

Pagi jam 9 WITA kami bertujuh sudah siap berangkat dengan bekal makanan seadanya, perjalanan diperkirakan tidak akan memakan waktu lama hanya dua jam saja dari Kota Bima. Menggunakan mobil kami menyusuri jalanan menuju Wera dengan santai, walau demikian baru sekitar 45 menit Adib sudah akan muntah saja karena memang jalanan yang dilalui berkelok-kelok. Namun demikian kelokan-kelokan jalan disini tidak sedahsyat jalanan menuju Sape (baca: Lariti).

Tidak banyak percabangan jalan yang kami temui dalam perjalanan, kami hanya mengikuti jalanan saja selama dua jam hingga akhirnya kita sampai juga di Pantai yang tidak tahu Pantai apa namanya. Beruntunglah di dekat situ ada sekolah dasar, langsung aku turun dari mobil untuk kemudian bertanya dimana Pantai Radu kepada guru SD yang kebetulan sedang mengajar pelajaran olahraga. Dan ternyata kami berhenti tepat di Desa Radu, maka tentu saja pantai itu Pantai Radu.

Pantai Radu ditandai dengan sebuah tanjakan tinggi yang terjal dari tanah berbatu dan berdebu, dari tanjakan ini kita dapat melihat Gunung Sangiang yang puncaknya selalu tertutup asap vulkanik. Kalau sudah melalui tanjakan ini, maka Pantai Radu hanya berjarak 300 meter lagi.
Dalam perjalanan menuju Radu, di jalanan dari tanah liat berdebu ada pertigaan ke arah utara menuju Oi Tui. Menurut informasi yang kudengar Pantai Oi Tui juga mempunyai keindahan tersendiri, sehingga sudah pasti akan kukunjungi juga nanti.

Sampai disana kami langsung makan bekal nasi yang kami beli sebelum berangkat, dan seselesainya kami langsung menikmati keindahan pantai dengan cara kami sendiri-sendiri. Aku dan Awal langsung foto-foto mengabadikan keindahan pantai Radu, yang sayangnya tidak ada satupun foto yang bagus. Saking teriknya matahari siang itu membuat tak ada satu pun awan yang berhasil keluar, namun tak cukup sampai situ, langit pun berwarna biru pucat menandakan betapa panasnya cuaca. Disini sunrise pasti sangat bagus karena letaknya yang langsung berbatasan dengan laut lepas dengan Gunung Sangiang sebagai pelengkap. Namun apa boleh buat kami sampai di sana begitu siang.

Tak puas dengan hasil foto yang kudapatkan aku langsung lanjut mandi di laut menyusul Satya, Imran, dan Panji yang sudah lebih dulu menceburkan dirinya. Pertama kupikir air laut di sini kotor, namun terus kuperhatikan air lautnya yang ternyata sangat jernih, pasir hitam di pantai ini yang menjadikannya terkesan kotor. Garis pantai yang lebar dan panjang menjadikan pantai ini enak digunakan untuk bermain-main. Hamparan pasir hitam dengan bebatuan karang pun menambah keindahannya. Dan di seberang Gunug Sangiang yang selalu mengepul menjadikannya semakin eksotis.

(anak pantai :D)

Kami puas-puaskan bermain air dan pasir, sedangkan Adib, Yaya, dan Awal bersantai saja di pinggir pantai. Jam 2 siang setelah semuanya puas bersenang-senang di pantai, kami kembali ke Bima.

(Gunung Sangiang di kejauhan yang tak berhenti mengepul)


Kru (dari kiri): Amin, Imran, Yaya, Satya, Awal, Panji, Adib

Jumat, 26 September 2014

Bromo + Madakaripura (25 Juni 2014)

Sebelum tugasku ke Bima, yang akan menjadi rumah sementaraku untuk dua tahun ke depan kusempatkan mengajak keluargaku untuk jalan-jalan berwisata ke icon wisata Jawa Timur, Gunung Bromo.

Tak banyak yang kuingat mengenai detil perjalanan itu, maka akan kuceritakan secara garis besarnya saja.

Untuk menuju ke Gunung Bromo ada dua jalur yang biasa digunakan, yaitu jalur Probolinggo dan jalur Pasuruan. Rute yang lebih biasa digunakan adalah jalur Probolinggo, yang karena aksesnya memang lebih mudah dijangkau. Jalur Pasuruan biasanya digunakan oleh traveler yang mulai perjalanan dari Malang.

Hanya dua jenis transportasi yang diperbolehkan untuk naik ke Bromo dari desa terakhir (Desa Sukopuro apabila dari Probolinggo dan Desa Nongko Jajar bila dari Pasuruan), yaitu Sepeda Motor dan Mobil Hardtop. Untuk sepeda motor masing-masing boleh membawa tanpa harus sewa, asalkan kondisinya kuat. Sedangkan untuk jenis transportasi satunya, mobil hardtop, kita harus menyewa dari para sopir di sana yang memang pekerjaan seharinya menyewakan mobil hardtop. Untuk paket lengkap wisata Bromo sewa mobil hardtop berkisar dari 350 ribu hingga 400 ribu. Paket lengkap wisata Bromo yang ditawarkan disini adalah Penanjakan, Kawah Bromo, Bukit Teletubbies, dan Pasir Berbisik. Sedangkan untuk paket Penanjakan dan Puncak Bromo saja, dikenakan tarif sebesar 200 ribu hingga 250 ribu.

Penanjakan
Penanjakan adalah spot pertama yang harus dikunjungi apabila kita berkunjung ke Bromo. Penanjakan adalah sebuah bukit yang sangat terkenal akan sunrise nya yang indah, tidak hanya di Indonesia bahkan dunia internasional pun telah mengakui keindahan sunrise dari Penanjakan ini. Akan banyak kita jumpai bule-bule sedang berburu sunrise lengkap dengan kameranya beserta lensa tabungnya.

Dari sini selain kita jumpai sunrise yang begitu indah, lautan awan juga begitu mendayu merayu. Gunung Bromo beserta kawan-kawannya pun terlihat kokoh menjulang dari sisi selatan Penanjakan.


Kawah Bromo
Dari Penanjakan, setelah puas menikmati indahnya sunrise kita akan diantar oleh sopir menuju kawah Bromo tetapi tidak sampai ke puncaknya melainkan hanya sampai di kaki gunungnya. Di kaki gunung ini banyak terdapat kuda-kuda yang disewakan untuk mengantarkan wisatawan untuk menuju Kawah Bromo dengan tarif 40 ribu, hanya sampai anak tangga. Namun bila ingin berjalan kaki menuju kawah juga bisa, hanya dengan berjalan selama 30 menit kita akan sampai di anak tangga.

Untuk sampai di kawah kita diharuskan untuk melalui anak tangga yang berjumlah 250. Cukup melelahkan namun semua akan terbayar ketika sampai di Kawah Bromo. Selain pemandangan kawah yang eksotis menyembulkan asap setiap saat, pasir berbukit-bukit di kejauhan juga dapat kita saksikan dari sini. Begitu indah.


Bukit Teletubbies
Entah apa maksud dari nama “Bukit Teletubbies” ini. Karena yang kusaksikan hanyalah gundukan bukit pasir serta bukit hijau biasa. Namun tak lantas tak ada yang isitimewa disini, banyak bunga-bunga entah apa itu namanya yang begitu indah dengan warna ungunya yang elok.


Pasir Berbisik
Nama “Pasir Berbisik” berawal dari sebuah film berjudul Pasir Berbisik yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Namun memang disini akan terdengar lantunan musik alam yang diakibatkan oleh gesekan angin dengan bukit-bukit pasir.


Setelah puas menikmati wisata Bromo kami tak lantas langsung pulang, tak kan lengkap rasanya kalau berkunjung ke Bromo dan tidak menyempatkan berkunjung ke Air Terjun Madakaripura.

Madakaripura
Dari Bromo kita mengambil arah ke Pasuruan, akan banyak papan petunjuk jalan untuk menuju ke air terjun ini, yang karenanya menjadikan mudah ditemukan. Untuk masuk kesini kita diharuskan untuk membayar sebesar 5 ribu per orang. Dari pintu registrasi ini, untuk menuju ke air terjun kita diharuskan untuk berjalan selama kurang lebih setengah jam dengan medan yang lumayan licin.

Konon katanya, dulunya Air Terjun Madakaripura adalah tempat bersemedinya Gajah Mada dan karenanya dipercaya dapat memberikan kesembuhan atas segala penyakit. Takkan jarang kita temui banyak wisatawan yang khusus berkunjung demi mendapatkan kesembuhan.
 
 
 


Senin, 22 September 2014

PANTAI LARITI, SAPE (keajaiban Nabi Musa terulang kembali)


Minggu kali ini, 21 September 2014, aku kembali sempatkan jalan-jalan menikmati alam untuk melepaskan penat. Tujuan wisata kali ini adalah Pantai Lariti, Sape, yang masih berada di wilayah Kabupaten Bima. Sape berada di sebelah timur laut Kota Bima, dengan jarak sekitar 1,5 jam perjalanan darat menggunakan motor.

Kebetulan jumat kemarin aku mendapatkan tawaran untuk bergabung dalam touring Yamaha Vixion Club Indonesia - Chapter Bima (YVCI - CB), jadi sesuai jadwal, Minggu jam 13.00 kami berkumpul di Taman Kota, Kota Bima. Setelah berkenalan dengan para anggota YVCI -CB dan berdoa, kami memulai perjalanan. Rombongan kami berjumlah 12 orang dengan 2 single rider dan 5 berboncengan. Aku berada di barisan paling belakang rombongan karena memang jalanku yang paling pelan dibandingkan teman-teman yang memang sudah terbiasa touring jarak jauh.

15 menit kami sampai di Kumbe untuk kemudian bertemu dengan satu teman kami yang juga akan ikut dalam rombongan. Dari Kumbe menuju Wawo jalanan sudah mulai berkelok-kelok dahsyat. Banyak tikungan berbahaya yang harus dilalui dengan kesigapan ekstra. Di Wawo kami berhenti sebentar untuk kembali bertemu dengan satu teman yang juga akan ikut dalam perjalanan ini, jadi total kami berjumlah 14 orang dengan 3 cewek.

Perjalanan kemudian kami lanjutkan kembali, kali ini setelah Wawo menuju Sape jalanan menjadi jauh lebih berbahaya karena belokan jalan yang tak jarang lebih dari 180 derajat. Jalanan berkelok-kelok membuatku harus selalu waspada, namun telah begitu waspada terhitung 2 kali aku keluar jalur karena belokan yang terlampau tajam. Bahkan footstep NVL milikku 2 kali terbentur aspal jalanan akibat terlalu curamnya belokan.

Sekitar 1 jam kami melaju dengan kecepatan rata-rata 70 km / jam kami sampai di pertigaan Masjid Raya Samping Sape. Kami sempat salah jalan dengan mengambil jalur kiri menuju Wera, namun Bang Fani, teman sekantorku langsung menyusul ke depan rombongan dan mengingatkan pimpinan rombongan bahwa seharusnya kita kita belok ke kanan menuju arah Pelabuhan Sape. Bang Fani memang sudah pernah ke Pantai Lariti sebelumnya dalam acara kantorku yang tidak sempat kuikuti, jadi dia sudah hafal betul jalananmenuju ke sana, dan sejak pertigaan Masjid Raya Samping, Bang Fani menjadi pimpinan rombongan.

Dari pertigaan ini kita akan melewati Pasar Sape untuk kemudian menemukan perempatan besar, dari perempatan ini kita mengambil arah kanan untuk menuju Lariti. Ketika kita lurus kita akan menuju Pelabuhan Sape, di Pelabuhan Sape ini lah biasanya teman-teman yang akan menuju Labuan Bajo menyeberang dengan tarif 60 ribu per orang. Kapal penyeberangan menuju Labuan Bajo sehari ada dua kali yaitu jam 9 pagi dan jam 5 sore.

Di perempatan ini kami berhenti lumayan lama untuk membeli nasi bungkus dan minuman sebagai bekal kami di Lariti nantinya. Setelah perbekala dirasa cukup kami kembali melanjutkan perjalanan, sekitar setengah kilometer dari perempatan tadi kami berhenti, kukira ada masalah pada sepeda salah seorang teman, namun ternyata tidak . Dari jalanan utama tempat kita berhenti tadi ada sebuah jalan dari tanah berdebu dan berbatu di sebelah kiri, jalanan ini lah yang akan mengantarkan kita ke Pantai Lariti.

Jalanan berdebu berbatu tak jarang mebuatku harus sangat pelan karena takut selip. Namun di tengah kewaspadaanku sudah terlihat dari jauh Pantai Lariti yang eksotis dengan jalanan dari pasir yang membelah lautan untuk menuju ke pulaunya. Semakin tidak sabar aku untuk segera sampai ke sana.
(Pulau Lariti)
-------------------------------------------------- ------------------
Di Korea ada sebuah pulau bernama Jindo yang lautnya terbelah setiap dua tahun sekali dan muncul jalan dari pasir untuk menuju ke pulaunya, namun ini terjadi hanya selama 2 jam. Bagi dunia ini terkenal dengan sebutan Moses Miracle.
Tidak kalah dengan Pulau Jindo, di Pantai Lariti kita bisa menyaksikan keajaiban ini setiap hari sepanjang tahun dari siang sampai sore. Fenomena ini terjadi karena bertemunya dua arus yang mengakibatkan pasir menumpuk di tempat kedua arus bertemu. Ketika pagi Pulau Lariti merupakan sebuah pulau terpisah, namun mulai siang sekitar jam 2 sampai sore setelah matahari terbenam, jalanan dari pasir akan terbuka menuju kesana. Sungguh indah.
---------------------------------------------------------------------
Sesampainya di sana kami langsung melintasi jalanan berpasir tersebut dengan motor dan berhenti tepat di tengah untuk berfoto bersama. Setelah berfoto bersama kami kembali ke pantai untuk memarkir motor.
(Jalanan dari pasir yang membelah Lautan)

Setelah parkir motor, tak berhenti aku langsung berjalan menuju Pulau Lariti dengan tas masih di punggung. Sesampainya di Pulau Lariti kujelajahi semua yang ada di pulau itu, mulai dari sisi barat, utara, timur, sampai utara. Di sebelah timur Pulau Lariti kulihat sebuah pulau kecil yang terlihat lumayan dekat, dan aku langsung berniat untuk menuju kesana. Namun kuputuskan untuk sholat ashar dulu karena sudah jam 15.30 WITA.

Setelah sholat ashar, tas dan sepatu kutinggalkan di Pulau Lariti untuk kemudian menuju pulau kecil tadi. Awalnya kedalaman air hanya selutut, namun setelah semakin dekat dengan pulaunya semakin dalam sampai sepinggangku. Ingin rasanya aku menyeburkan diri namun mengingat kedalaman air yang tidak terlalu dalam dan aku tidak membawa baju ganti, akhirnya kuurungkan juga niatku untuk mandi.

Meskipun kecil namun pulau ini sangat indah dengan hiasan terumbu karang berwarna-warni di sekitarnya. Bintang laut seukuran telapak tanganku pun banyak kujumpai di sini, begitu indah. Dari sini pemandangan sekitar pun tak kalah indahnya, perbukitan di sebelah utara dan selatan pulau membuatnya begitu lengkap namun belum sempurna karena awan-awan cantik tak nampak akibat musim kemarau yang mencapai puncaknya di bulan ini.
(bintang laut langsung dikembalikan setelah difoto)
 
(Bintang Laut dan Terumbu karang di sekitar pulau kecil di seberang Pulau Lariti)

Kuhabiskan waktu disini sampai hampir magrib, aku bahkan berniat baru akan kembali setelah matahari tenggelam, namun karena rombongan sudah akan kembali ke Bima aku langsung kembali ke pantai. Namun sesampainya di pantai ternyata hanya tersisa Bang Fani yang menungguiku, sedangkan rombongan yang lain sudah kembali terlebih dahulu dan menunggu di Pelabuhan Sape.
(Suasana ketika Sunset dari Pulau Lariti)

Tak banyak cakap kami langsung memacu motor untuk menuju di Pelabuhan Sape. Memang tak sia-sia kami mampir ke pelabuhan Sape karena pemandangan di sini juga tak kalah indahnya, semburat jingga surya yang bersembunyi di balik perbukitan sungguh elok melengkapi hari Mingguku.
(Sunset dari Pelabuhan Sape)



Thanks to YVCI - CB

Kamis, 18 September 2014

PAPANDAYAN, NEGERI IMPIAN (sebuah catatan perjalanan - 2.665 mdpl)


Berawal dari ajakan sahabatku di sela-sela kegiatan diklat Oktober 2013, akhir Desember 2013 akhirnya sampai juga aku di Terminal Guntur, Garut. Namun jauh pagi sebelumnya kami telah sampai di Stasiun Tasik untuk bertemu rombongan kami dari Jogja, tiga wanita perkasa yang juga akan ikut pendakian ini. Dari stasiun Tasik kami menyewa dua angkot untuk menuju pertigaan, yang entah apa itu namanya aku lupa, dengan ongkos 100 ribu. Dari pertigaan ini kami melanjutkan perjalanan ke Garut menggunakan mobil elf yang memang sudah biasa mengantarkan para pendaki dengan ongkos carter 350 ribu. Dua jam perjalanan kami menuju Garut melewati alam pedesaan yang masih asri dengan jalanan berkelok-kelok dengan sawah terasiring di kanan kiri sebagai penghias, hingga akhirnya kami tiba di Terminal Guntur, Garut sekitar jam 7.

Bermula dari terminal ini lah hiruk pikuk mulai terjadi karena calo-calo terminal mulai beraksi, tak banyak yang bisa kami lakukan untuk menghindari calo-calo ini. Singkat cerita kami pun mau tidak mau harus berurusan dengan para calo dan dikenakan tarif tinggi untuk menuju ke Desa Cisurupan menggunakan angkot. Untuk menuju Desa Cisurupan diperlukan waktu kira-kira satu jam.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Terminal Guntur, Garut merupakan titik tolak pertama pendakian tiga gunung, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, dan Gunung Cikurai. Maka tak heran banyak calo-calo yang wajahnya akan selalu kita lihat begitu sampai di Terminal Guntur karena menjadi calo memang sudah menjadi pekerjaan tetap mereka.
Untuk menghindari calo-calo ini sebenarnya kita bisa berhenti di Pertigaan atau Bundaran Tarogong untuk kemudian menyewa angkot, yang tentu dengan tarif yang lebih murah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Di desa Cisurupan, yang bisa dikatakan sebagai Desa terakhir sebelum menuju pintu gerbang pendakian, kami beristirahat sejenak untuk melemaskan otot. Terdapat semacam perkumpulan sopir mobil pickup di desa ini yang memang mengkhususkan mobilnya untuk digunakan sebagai angkutan para pendaki. Perkumpulan ini menetapkan tarif standar bagi tiap mobil pickup yang akan mengangkut para pendaki ke gerbang pendakian Papandayan sebesar 200 ribu dengan kapasitas maksimal 20 orang.

Dari desa Cisurupan ke gerbang pendakian dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Disini keahlian sopir mobil benar-benar diuji karena harus melewati medan yang sangat terjal menanjak dan berkelok. Bahkan dalam perjalanan kami waktu itu terdapat satu mobil pickup yang tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan ke atas hingga akhirnya penumpangnya harus dialihkan ke mobil yang lain. Di tengah sensasi menegangkan melewati jalanan ini kami dapat menyaksikan dari kejauhan gunung Ciremai yang begitu kokoh dengan puncaknya yang diselimuti awan. Sempat terceletuk dariku dan beberapa kawan untuk berkeinginan mendakinya suatu hari nanti. (yang akhirnya kesampaian juga , namun akan kukisahkan di cerita yang berbeda)

Jam 10 kami sampai di gerbang pendakian Gunung Papandayan, Camp Davis. Camp Davis merupakan pos registrasi bagi para pendaki yang akan melakukan pendakian ke Gunung Papandayan, setiap pendaki diwajibkan menyerahkan fotokopi KTP atau kartu identitas lainnya dan uang pendaftaran sebesar 10 ribu.

Selain sebagai pos registrasi Camp Davis juga menyediakan pelataran yang luas untuk tempat parkir bagi para pendaki yang membawa kendaraan pribadi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari sini sebenarnya terdapat dua jalur pendakian, yang satu jalur umum yang memang biasa digunakan oleh para pendaki, dan yang kedua jalur yang kurang populer. Dari pos registrasi untuk mencapai jalur pendakian umum dan biasa digunakan kita hanya harus berjalan lurus mengikuti jalan. Sedangkan jalur yang kedua berada di belakang mushola di arena Camp Davis.
Perbedaan dari kedua jalur ini adalah apabila kita menggunakan jalur umum kita akan melewati kawah, Pos Simaksi, Pondok Salada, Hutan Mati, dan Tegal Alun sebelum akhirnya kita menuju ke puncak, namun sebaliknya apabila kita melewati jalur yang satunya kita akan menucu puncak terlebih dahulu baru kemudian ke situs-situs lainnya.
----------------------------------------------------------------------------

Setelah melengkapi persyaratan di pos registrasi dan berdoa demi kelancaran pendakian rombongan kami yang berjumlah 19 orang langsung melanjutkan perjalanan menggunakan jalur umum, mengingat matahari sudah sangat terik. 

Perjalanan dibuka oleh jalanan landai dengan kontur bebatuan kapur putih. Lima belas menit kami berjalanan sudah tidak ada lagi pepohonan di kanan kiri kami karena memang sudah memasuki area kawah. Walau kawah yang sebenarnya belum terlihat namun bau belerang sudah mulai tercium terbawa angin.

Terik matahari terasa sangat menyengat, namun seakan tak terasa karena pemandangan yang ditawarkan begitu indah. Memang di sinilah letak keistimewaan Gunung Papandayan, sebab dari awal melakukan perjalanan hingga sampai ke puncak nantinya kami senantiasa disuguhi pemandangan yang memang benar-benar indah. Bebatuan putih terjal berlatarkan hamparan langit biru dengan awan-awannya yang cantik serta perbukitan hijau di kejauhan nan asri akan menjadikan perjalanan tak terasa walaupun matahari sudah sangat tinggi.

Seringkali kami berhenti untuk sekedar berfoto bersama dan mengabadikan keindahan alam yang memang akan sangat sayang apabila dilewatkan.

Setelah sekitar setengah jam berjalan kami sampai juga di Kawah Mas yang terletak di sebelah kiri. Dari sini bau belerang akan sangat menusuk sehingga masker wajib dikenakan di area ini. Asap yang selalu mengepul mewarnai pemandangan di kawasan kawah ini mengingat memang Gunung Papandayan masih sangat aktif. Sebenarnya terdapat empat kawah di sini yaitu Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk, namun aku tak dapat membedakannya.

Setelah melewati areal kawah kami melewati jalanan terjal tandus berkelok namun demikian tetap dengan pemandangan yang menakjubkan.

Jalanan tandus ini akan berakhir dengan jalan menurun membelah lembah. Di dasar lembah kami bertemu dengan sungai yang airnya sangat jernih. Namun mengingat sungai ini masih berada di kawasan kawah sangat tidak disarankan untuk mengambil air dari sungai ini karena kemungkinan besar mengandung belerang, pun demikian karena rasa penasaran yang lebih tinggi aku sempatkan untuk mencoba meminum air dari sungai ini :D. Segar!!

Dari sungai ini, di sebelah kiri terlihat dari kejauhan terdapat air terjun yang berhiaskan dinding dari bebatuan yang eksotis, namun jalur untuk menuju ke sana mungkin belum diketahui oleh umum sehingga kami pun belum dapat mengunjunginya.

Perjalanan kembali kami lanjutkan, hingga kami menemukan percabangan tidak jauh dari sungai. 
----------------------------------------------------------------------------
Terdapat dua jalan dari sini, kita dapat mengambil jalan lurus atau ke kiri. Apabila kita lurus kita akan dihadapkan dengan medan yang lumayan menanjak namun pendek, sedangkan apabila kita mengambil jalan ke kiri kita akan melewati jalur yang landai namun panjang karena memutar. 
----------------------------------------------------------------------------
Kami memutuskan untuk mengambil jalan ke kiri. mengingat banyak dari kami yang merupakan pendaki pemula termasuk aku.

Setelah kira-kira setengah jam melanjutkan perjalanan kami melewati bibir tebing yang dari sini akan dapat terlihat pemandangan yang begitu indah. Dapat terlihat pula di kejauhan terdapat danau yang cukup besar, namun lagi-lagi karena jalur untuk menuju ke sana belum diketahui umum sehingga kami belum dapat mengunjunginya.


Setelah melewati bibir tebing ini kami serombongansampai di Pos Simaksi untuk melakukan registrasi ulang. Pos ini selain berguna untuk mencegah para pendaki-pendaki liar, juga berguna untuk mengontrol jumlah para pendaki yang akan berkemah di Pondok Salada. Apabila jumlah pendaki telah melebihi batas maksimal kuota Pondok Salada maka para pendaki akan disarankan untuk berkemah di Pos Simaksi ini.

Dari Pos Simaksi ini Pondok Salada hanya tinggal setengah jam lagi dan sekitar siang jam 2 kami tiba di Pondok Salada. Pos ini dinamakan Pondok Salada karena banyak terdapat tumbuhan selada, namun bukan daun selada yang biasa kita makan melainkan selada hutan yang rasanya ada sedikit wanginya.

Begitu sampai, kita langsung menentukan tempat untuk mendirikan kemah dan langsung mendirikannya sedangkan para wanita perkasa mendapatkan tugas untuk memasak. 

Di kawasan Pondok Salada ini terdapat hamparan edelweiss yang sangat luas namun tak seluas di Tegal Alun. Di saat matahari mulai menguning hamparan edelweiss akan tampak begitu eloknya sehingga tak jarang kita jumpai pasangan yang melakukan foto prewedding di sini, begitupun sore itu terdapat sepasang kekasih yang melakukan sesi pemotretan di sekitaran Pondok Salada.

**************
Malam harinya angin berhembus sangat kencang di areal Pondok Salada, menyebabkan banyak dari kami yang menggigil kedinginan. Namun semua itu tak begitu terasa karena hamparan langit di atas yang begitu indah dengan bintang gemintangnya yang memukau. Langit di kawasan ini masih sangat bersih dan jauh dari pencemaran udara, ini lah yang menyebabkan bintang-bintang begitu jernih terlihat.
**************

Jam 5 pagi kami mulai bangun, dan setelah sholat subuh kami langsung berburu sunrise. Namun terdapat miskomunikasi di antara kami sehingga menyebabkan rombongan kami terpisah menjadi dua. Rombonganku berjumlah 13 orang dan rombongan lainnya enam orang. Rencana awal sebenarnya kami akan menuju Hutan Mati dulu, namun rombongan satunya mengira bahwa kami akan menuju Tegal Alun terlebih dahulu.


Dari Pondok Salada kami melewati aliran sungai yang merupakan satu-satunya sumber air di situ, kemudian menyusuri jalan setapak dan akhirnya belok kiri. Hutan mati dulunya merupakan kawasan hutan namun akibat erupsi Gunung Papandayan di tahun 2002 pepohonan di sini mati dan menghitam. Namun di sinilah terletak keindahan hutan mati, pepohonan yang telah mati bukannya roboh namun tetap dengan kokohnya berdiri. Tidak hanya itu unsur belerang dalam tanah di kawasan ini menyebabkan tanah menjadi memutih sehingga menambahkan kesan eksotis pada Hutan Mati. Namun tidak selesai sampai di situ, semburat jingga matahari pagi dan lapisan uap air tipis yang menyelimut menjadikan Hutan Mati begitu lengkap.

Setelah puas menikmati keindahan hutan mati, kembali terjadi perpecahan di antara kami >.<

Aku dan Tebe memutuskan untuk menuju puncak, namun tidak dengan 11 orang yang lain. Akhirnya berbekal petunjuk arah seadanya kami berdua nekat menuju puncak. Waktu itu kami berdua belum punya pengalaman sama sekali dalam hal pendakian dan belum tahu betapa bahayanya terpisah dari rombongan, beruntunglah tidak terjadi apa-apa waktu itu.
----------------------------------------------------------------------------
Untuk teman-teman yang melakukan pendakian dengan jumlah yang besar terutama dengan banyak pendaki pemula, persiapan perbekalan terutama air harus dipikirkan dengan benar-benar matang. Hal ini mengingat pendaki pemula cenderung akan lebih banyak menghabiskan air, terutama aku waktu itu :D
Namun selain itu unsur kehati-hatian dan koordinasi harus dijadikan patokan utama, terutama dalam pendakian-pendakian di Gunung yang memiliki jalur berat dengan banyak jalur. 
SANGAT TIDAK DISARANKAN UNTUK MEMISAHKAN DIRI DARI ROMBONGAN!!!!!  
----------------------------------------------------------------------------

Dari hutan mati terdapat petunjuk arah menuju puncak, jalanan menuju Puncak lumayan menanjak namun tidak panjang dan tetap menawarkan banyak bonus. Terdapat sebuah tanjakan yang terkenal di sini yaitu Tanjakan Mamang, tanjakan ini memiliki tingkat kemiringan yang lumayan curam sehingga untuk pendaki pemula sepertiku waktu itu terasa sangat berat. Namun itu semua terbayar lunas sudah ketika kami sampai di Tegal Alun. Dan di sini pula kami berdua akhirnya bertemu dengan enam orang dari rombongan satunya.

Hamparan edelweiss yang begitu luas tersaji di depan kami, sejauh mata memandang ke manapun yang tampak hanyalah edelweiss yang begitu cantik. Latar perbukitan dan langit biru berawan cerah melengkapkan keindahan Tegal Alun ini.

----------------------------------------------------------------------------
Banyak yang mengira bahwa Tegal Alun merupakan puncak dari Gunung Papandayan, namun sebenarnya tidak. Hal ini dikarenakan sedikitnya petunjuk jalan menuju puncak. Letaknya pun bisa dikatakan tidak mudah dilihat, karena dari kawasan tegal alun selepas tanjakan Mamang, kita masih harus berjalan sekitar 10 menit untuk menemukan petunjuk jalan menuju puncak.
----------------------------------------------------------------------------

Nampaknya enam orang dari rombongan satunya ini telah mencoba mencari jalan menuju puncak namun tidak menemukannya. Beruntunglah waktu aku dan Tebe datang, terdapat rombongan lain yang juga akan menuju puncak sehingga kami membuntutinya dari belakang dan akhirnya menemukan papan petunjuk jalan. 

Edelweiss masih terhampar luas ketika kami menemukan sumber air yang begitu jernih mirip kolam ikan namun alami. Kolam air ini begitu indahnya menyembulkan tanaman-tanaman air serta rerumputan yang tumbuh di dasarnya. Jernihnya air disini mengaburkan kedalamannya yang sebenarnya lumayan dalam sekitar 2 meter menurut perkiraanku.

**************
Jalanan memutari bukit kami lalui sebentar sebelum kemudian kami masuk ke jalanan hutan yang bisa dibilang lumayan lebat dan lembab. Waktu itu memang musim hujan sehingga jalanan menuju puncak masih sedikit rimbun, jaring laba-laba pun masih melekat erat pada pepohonan sehingga sedikit mengganggu perjalanan kami. Beruntungnya dari sini banyak terdapat tanda petunjuk jalan dari tali rafia di kanan kiri sehingga memudahkan untuk mengetahui jalur mana yang harus dipilih.

Satu jam kami berjalan dengan medan yang lumayan menantang hingga akhirnya kami mendapati sebuah bukaan tanah yang lumayan luas, tidak ada petunjuk tulisan atau pun patok titik triangulasi. Namun kami meyakini ini lah puncak Papandayan 2.665 mdpl karena jalan setapak setelahnya terus menurun. Pemandangan kawah dari atas yang eksotis menjadikannya satu-satunya daya tarik di Puncak Papandayan.

----------------------------------------------------------------------------
Gunung Papandayan yang terkenal akan keindahannya dengan medan yang bisa dibilang ringan, sangat cocok bagi teman-teman yang ingin mencoba melakukan pendakian dan merasakan betapa eloknya pesona yang ditawarkan gunung
Gunung Papandayan juga sangat cocok untuk menimbulkan kecintaan kita terhadap alam untuk kemudian tergila-gila olehnya. 
"Tak banyak yang kutahu soal pendakian waktu itu, yang kutahu hanyalah persiapan fisik yang matang. Sedangkan segala macam peralatan, perlengkapan, dan perbekalan semua diurus teman-temanku, aku benar-benar buta dan tak tahu apa-apa. Hanya jaket tebal, sarung tangan, dan masker yang kupersiapkan, keril pun tak ada.
Tak ada sedikitpun terbersit dalam pikiranku bahwa aku akan tergila-gila oleh pesona gunung. Waktu itu aku hanya berniat mencari selingan di tengah penatnya kehidupan Jakarta.
Namun dalam pendakianku di Papandayan mataku terbuka begitu lebarnya. 
Hembusan angin yang begitu segar memenuhi dada. Semburat jingga semu kekuningan matahari pagi dengan lapisan uap air tipis yang berarak bederak tertiup. Pegunungan perbukitan hijau berlapis-lapis terbingkai langit biru dengan awan-awan cantiknya yang begitu luas. Pesona yang takkan kita dapatkan di manapun kecuali di gunung. Bahkan pesonanya dapat mendamaikan siapapun apapun masalahnya, 
Ini lah sebenarnya candu gunung bagiku"



Teks: Amin Rasyidi
Foto: Githa Adhi
Kru dari kiri:
Atas: Wahyu, Deny, Inna, Yenni, Naris, Ryan, Anom, Endah, Alfian, Nerva, Dian
Tengah: Tebe, Arif, Amin, Cahyo, Charis, Githa
Bawah: Puteri, Indah






Minggu, 14 September 2014

Pacuan Kuda Tradisional (PACOA JARA) - Bima

Kuda Sumbawa memang tidak terlalu besar, bahkan bisa dikatakan kecil untuk ukurannya. Namun jangan salah karena Kuda Sumbawa terkenal sangat kuat. Mungkin ini disebabkan kontur dataran di Pulau Sumbawa yang berbukit dan bergunung hingga membuat kuda-kuda di sini sangat gesit dan kuat. Sebelum meletusnya Tambora, Kuda Tambora lah yang terkenal sangat kuat, bahkan menurut dokumentasi kuda Tambora sampai digunakan untuk pacuan kuda di Eropa. Namun kini tidak ada lagi Kuda Tambora melainkan hanya Kuda Sumbawa.

Di Desa Panda, Kabupaten Bima, tidak jauh dari Polres Kabupaten Bima hanya sekitar 1 km, terdapat event Lomba Pacuan Kuda yang digelar dua kali dalam setahun tiap musim kemarau. Sabtu dan Minggu 13-14 Seprtember 2014 saya sempatkan untuk melihat secara live pacuan kuda di Desa Panda ini.

Namun jauh dari bayangan saya karena ternyata di arena ini joki-jokinya masih anak-anak TK hingga SD umur 6-10 tahun. Saya pernah dengar bahwa memang yang terkenal di pacuan kuda disini adalah joki-joki kecilnya, namun di bayanganku adalah anak-anak SMP bukannya anak TK.

Dalam mendapatkan joki-joki kecil berbakat para pemilik kuda ada yang menggunakan sistem kontrak dan ada juga yang menggunakan sistem sekali pacu. Tarif dan bonus yang dijanjikan pemilik kuda bagi joki-joki kecil dalam pacuan sangatlah menggiurkan, mulai dari 200 ribu sekali pacuan hingga bonus hingga 3 juta apabila memenangkan pacuan. Bahkan menurut pengakuan pemilik kuda yang menggunakan sistem kontrak, ada joki yang dikontrak hingga 15 juta dalam sekali perlombaan.

Namun bukan semata-mata karena uang lah orang tua joki-joki ini membiarkan anak-anaknya bergelut dalam bahaya pacuan kuda, melainkan unsur budaya juga yang memang telah secara turun-temurun menjadikan anak-anak sebagai joki cilik. Bahkan menjadi suatu kebanggaan tersendiri apabila anak-anak mereka menjadi joki dan mendapatkan juara.

 
 

Tanpa pengaman, tanpa pelana, joki-joki kecil ini dengan gagah dan tangkasnya menunggangi kudanya. Mungkin yang bisa dibilang pengaman hanya lah helm yang dipakai, namun tentu helm saja tidak mungkin bisa menyelamatkan joki-joki kecil ini apabila jatuh dari kudanya. Pertimbangan utama kenapa joki yang dipilih adalah anak-anak kecil yaitu karena ukuran kudanya sendiri yang kecil sehingga bila dipilih joki yang sudah lumayan besar tentu membuat kuda yang dipacu menjadi berat larinya.

Terdapat banyak kategori dalam pacuan kuda di Bima, atau biasa disebut "PACOA JARA" dalam bahasa bima, mulai dari TK a, TK b, Oa, Ob, Harapan A, Harapan B, Tunas A, Tunas B, Dewasa A, Dewasa B, Dewasa C, dan Dewasa D. Pacuan kuda disini dari kategori TK a hingga Tunas B dikategorikan berdasarkan umur dan tinggi kuda. Sedangkan dalam kategori Dewasa A hingga Dewasa D merupakan kuda yang bisa dibilang kuda senior dan kuda blesteran. Tidak hanya kuda Sumbawa yang diperlombakan dalam kategori Dewasa A hingga Dewasa D melainkan hingga kuda Australia. Namun tak lantas menjadikan kuda Sumbawa yang berperawakan kecil kalah, kuda Sumbawa yang tersohor karena keuatannya tentu memiliki kecepatan lari yang tidak bisa dianggap remeh karena tak jarang kuda Sumbawa menjadi juara dalam kategori ini.

Nantinya juara dari masing-masing kategori akan dipertandingkan dalam kelas umum hingga didapatkan juara umum. Hadiah yang ditawarkan kepada kuda yang menjadi pemenang bervariasi mulai dari TV, kulkas, sapi, hingga Sepeda Motor untuk juara 1 tiap kategori dan juara umum.

Namun seperti layaknya lomba apapun di manapun, pacoa jara juga tak lepas dari ajang judi sehingga sering didapati aksi-aksi tidak sportif dari pemilik kuda maupun penjudi demi memenangkan taruhan. Bahkan tak hanya aksi judi yang dapat kita jumpai dalam pacoa jara, hingga aksi-aksi klenik seperi pembacaan aji-aji dan penggunaan ajimat-ajimat pada sang joki dapat kita jumpai dalam acara ini. Namun demikian pacoa jara tetap menyimpan keindahan tersendiri yang layak untuk dinikmati.



Rabu, 10 September 2014

MENYAPA TAMBORA (sebuah catatan perjalanan – 5 s.d. 7 September 2014)


Gunung Tambora terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima. Gunung Tambora awalnya pernah menjadi puncak nusantara dengan ketinggian 4.300 mdpl namun akibat letusan dahsyat pada April 1815 hampir separuh dari ketinggian Tambora terlontar ke udara hingga menjadi hanya 2.851 mdpl dan menyisakan kawah yang sangat luas dan kaldera terdalam di dunia dengan kedalaman 1.200 meter.Konon letusan Tambora pada 1815 merupakan letusan terbesar di sejarah modern manusia yang membawa dampak begitu luas.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pukul 21.30 WITA mobil kami melaju kencang menyusuri jalanan mulus Kota Bima. Mulus namun berkelok-kelok, membuat tas-tas gembung kami di jok belakang berlarian kesana kemari. Peralatan dan perlengkapan yang akan kami bawa nantinya yang membuat tas-tas kami gembung penuh sesak. Namun itu belum semua karena nantinya kita akan berhenti sejenak di Dompu untuk mengambil tenda, sleeping bag, dan matras.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak seperti di Jakarta yang banyak dijumpai toko outdoor  maupun tempat persewaan barang outdoor, di Bima hampir bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Di Bima sendiri hanya ada satu toko outdoor yang hanya melayani jual beli, itu pun dengan stock barang yang sangat terbatas. Ada satu tempat persewaan peralatan outdoor yang berada di Dompu, nampaknya memang satu-satunya tempat persewaan, yang berada tidak jauh dari pusat kota Dompu, “Safin Outdoor”. Toko ini dikelola oleh teman-teman Humpa Dompu, Pecinta Alam Dompu. Tak hanya peralatan outdoor yang bisa kita peroleh di sini, segala informasi tentang pendakian Tambora juga dapat kita peroleh dari teman-teman Humpa Dompu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pukul 23.00 WITA kami sampai di Safin Outdoor untuk mengambil dan melengkapi peralatan kami yang masih kurang. Dan setelah bercakap-cakap lumayan lama kami kembali melanjutkan perjalanan hingga jam 02.00 WITA kita sampai di perempatan Kenanga Atas, Calabai untuk menunggu subuh sembari beristirahat di dalam mobil. Dari perempatan ini apabila kita ambil jalan ke kiri kita akan sampai di Pelabuhan Kenanga, tempat penyeberangan untuk menuju Pulau Satonda. Dan lurus untuk menuju Desa Pancasila, desa gerbang pendakian Gunung Tambora.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Terdapat tiga jalur pendakian ke Gunung Tambora, pertama jalur yang paling umum yaitu jalur Pancasila, kedua jalur Doropeti, dan terakhir yang jarang diketahui orang adalah jalur Kawindatoi. Dari ketiga jalur ini yang paling terkenal dan paling panjang jalurnya adalah jalur Pancasila. Sedangkan jalur Doropeti lebih dikenal dengan jalur ekspress karena hingga Pos 3 dari Desa Doropeti dapat ditempuh menggunakan mobil Hardtop yang disewakan oleh warga setempat, dari Pos 3 kita hanya harus mendaki selama 2-3 jam untuk mencapai puncak. Untuk jalur ketiga yang jarang diketahui orang, jalur Kawindatoi, trek yang disuguhkan merupakan trek yang paling curam namun lebih singkat hanya sekitar 7 jam pendakian. Namun pemandangan yang ditawarkan konon katanya paling menawan dibandingkan kedua jalur lainnya karena dalam perjalanan menuju puncak kita dapat menjumpai tujuh air terjun yang masih sangat asri, dan tidak hanya itu terdapat bunga edelweiss berwarna ungu di jalur pendakian ini.

Untuk menuju ke Desa Pancasila kita dapat menggunakan angkutan umum yaitu bus Bima-Calabai yang hanya ada dua kali sehari pagi dan siang, ataupun bus Bima-Dompu dan lanjut ke Calabai. Di Calabai kita turun ke perempatan Kenanga Atas yang kemudian dilanjutkan dengan ojek menuju pos registrasi.

Terdapat dua pos registrasi untuk menuju ke Gunung Tambora dari Pancasila, yang pertama pos Pancasila dan yang kedua pos Patrol. Pos Pancasila lebih terkenal dibandingkan dengan pos Patrol karena memang pos Pancasila dikelola oleh orang Dompu sendiri, sedangkan pos Patrol dikelola oleh orang Bima. Kedua jalur ini akan bertemu sekitar 15 menit pendakian sebelum Pos 1.

Gunung Tambora secara administrasi berada di Kabupaten Bima, namun letaknya yang unik berada di tengah Kabupaten Dompu membuat kita harus melewati kabupaten Dompu untuk menuju kesana.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pagi itu sekitar pukul 08.00 WITA kami sampai di gerbang pendakian Tambora, terdapat dua monumen di kanan kiri pintu gerbang pendakian. Monumen di sebelah kanan bertuliskan sejarah meletusnya Tambora di tahun 1815 dan dampaknya yang hingga mencapai Eropa dan Amerika Utara yang terkenal dengan istilah “A Year Without a Summer”. Di monumen sebelah kiri akan kita jumpai rute pendakian Gunung Tambora berikut estimasi waktu pendakiannya ke tiap-tiap pos.



Dari gerbang ini kita menuju ke wisma Tambora yang dikelola oleh Pak Parno dan Pak Sugeng, juru kunci Gunung Tambora. Wisma Tambora ini awalnya merupakan rumah peristirahatan meneer Belanda yang kemudian setelah kemerdekaan ditinggalkan pemiliknya. Wisma ini sekarang menjadi rumah peristirahatan juru kunci Gunung Tambora dan juga guest house bagi para pendaki.


Pukul 09.30 WITA setelah berbicara panjang lebar, sembari sarapan pagi, dengan Pak Parno dan Pak Sugeng kami berempat berangkat dari Wisma. Untuk menuju pos Patrol dari wisma cukup mudah karena sudah terdapat petunjuk menuju rute pendakian dipasang di setiap pertigaan maupun perempatan jalan. Dari wisma kita akan menemukan sebuah pondok kayu kecil, atau dalam bahasa Bima “beruga”, itu lah Pos Patrol. Dari sini untuk menuju ke jalur pendakian kita belok kiri memasuki kebun kopi milik warga, apabila lurus kita akan menuju kampung Bali.

Pendakian kali ini diawali dengan jalanan landai yang didominasi latar kebun kopi. Setelah 30  menit berjalan baru lah suasana kanan kiri kita akan berganti dengan semak rumput gajah, jelatang, dan pepohonan yang tidak terlalu lebat, jalanan pun masih terbilang landai. Tiga jam waktu yang kami perlukan untuk menuju Pos 1 dari Pos Patrol dikarenakan ada salah satu dari kami yang cedera otot. Tidak jauh dari beruga Pos 1 terdapat sumber air yang sangat jernih yang digunakan sebagai sumber pengairan warga desa sekitar.

Di Pos 1 satu kawan kami bersama guide terpaksa harus kembali menuju wisma dan tidak melanjutkan pendakian karena cedera otot yang bisa dibilang cukup serius.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sangat disarankan untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian untuk menghindari kram otot. Latihan-latihan fisik sebelum pendakian pun mutlak dibutuhkan, mengingat mendaki gunung bukan lah olahraga ringan, fisik prima mutlak dibutuhkan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Bertiga kami melanjutkan menuju puncak, dan trek yang kami lalui masih belum jauh berbeda dari trek dari Pos Patrol menuju Pos 1 yang masih didominasi oleh semak rumput gajah, jelatang, dan pepohonan yang tidak terlalu lebat. Belum ada tanjakan berarti hingga 1 jam 45 menit kita berjalan menuju Pos 2. Pos 2 ditandai dengan adanya beruga seperti di Pos 1.
Di Pos 2 terdapat juga sumber air berupa sungai yang sangat jernih, di sini kami mengisi perbekalan air kami, terakhir sebelum puncak.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Terdapat total 5 Pos Pendakian sebelum mencapai puncak Tambora dari jalur Pancasila. Di setiap Pos sebenarnya terdapat sumber air yang dapat kita gunakan, namun air yang dapat dikatakan bersih terakhir berada di Pos 2 karena di Pos 3 hingga Pos 5 sumber air sangat keruh dan harus disaring berulang-ulang sebelum dimasak dan layak diminum.Dari kelima Pos ini yang paling favorit untuk dijadikan tempat berkemah adalah Pos 3 dan Pos 5, sedangkan yang paling dihindari adalah Pos 2 dan 4 karena aura mistis yang menyelimuti kedua Pos ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pukul 15.00 WITA setelah melakukan sholat jama’ Qosor Dzuhur dan Ashar, dan juga mengisi perut dengan perbekalan seadanya kami melanjutkan perjalanan. Dari beruga Pos 2 kita turun melewati sungai sumber air, dari sumber air ini trek yang disajikan langsung curam menantang. Namun tanjakan ini tidaklah panjang hanya sekitar 20 menit kami lalui tanjakan ini, tentunya dengan beberapa kali istirahat, setelah itu trek yang disajikan hanyalah jalanan landai yang sesekali menanjak namun tidak curam.

Mulai dari Pos 2 ini hutan mulai lebat, satwa-satwa seperti burung, luwak, dan monyet banyak kita ditemui dari Pos 2 menuju Pos 3 apabila kita beruntung.

Pukul 16.45 WITA Kami tiba di Pos 3 dan langsung merebahkan tubuh untuk melepaskan capek di beruga Pos 3. Tadinya kami berencana untuk mengisi perbekalan air terakhir kami di Pos 3 ini namun air yang ada ternyata sangat kotor, hanya berupa kubangan air dengan sedikit aliran air.

Dari pos 3 jalanan mulai secara konstan menjadi semakin curam menantang, dengan tetap banyak bonus yang ditawarkan. Vegetasi hutan pun mulai sedikit berubah dengan adanya pohon-pohon pinus yang tumbuh di sekitar Pos 4. Langit belum gelap sempurna ketika kami sampai di Pos 4, pukul 18.00 WITA.

Awalnya kita berencana untuk berkemah di Pos 5 karena menurut kami Pos 5 merupakan Pos yang paling ideal untuk mendirikan tenda, tidak jauh dari puncak sehingga memudahkan kami untuk esoknya summit attack. Namun karena satu dari kami sudah terlalu capai dan mulai drop fisiknya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di Pos 4, yang tentu waktu itu kami belum tahu kalau si Pos 4 terkenal dengan cerita mistisnya.

Tidak ada beruga di Pos 4 melainkan hanya berupa bukaan tanah lebar, cukup untuk 8 tenda, yang dikelilingi oleh pohon pinus besar. Pohon pinus ini juga yang berguna untuk melindungi tenda kami dari dinginnya terpaan angin malam.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Carilah info selengkap-lengkapnya tentang jalur pendakian, sumber air, jenis satwa, jenis vegetasi, pantangan-pantangan, dan segalanya yang berhubungan dengan pendakian yang akan dilakukan. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi selama pendakian, terutama apabila pendakian dilakukan tanpa guide dan tanpa pendaki yang sebelumnya pernah mendaki di tempat pendakian.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Tenda selesai kami dirikan, kompor langsung kami nyalakan untuk memasak makan malam. Dua buah mi rebus dobel, sawi, dan sosis menjadi sumber energi kami malam itu. Tak lupa minuman penghangat badan kami buat.

Malam semakin larut dibuktikan dengan angin yang semakin kencang berhembus, namun di tengah lebatnya hutan pinus sinar rembulan tetap berhasil menembus.

Selesai makan malam kami langsung lanjut tidur, istirahat demi persiapan fisik kami esok untuk summit attack.
**************
02.00 WITA kami telah siap dengan semua peralatan dan perlengkapan kami di keril, kalau biasanya beberapa perbekalan dan tenda kami tinggal, tidak kali ini karena banyaknya babi hutan di Tambora.
Jalanan menuju Pos 5 masih sama dengan jalanan dari Pos 3 menuju Pos 4 namun dengan lebih sedikit bonus. Hutan juga masih lebat didominasi oleh Pinus.

1 jam kami berjalan hingga akhirnya sampai di Pos 5 yang berupa bukaan tanah tidak terlalu luas. Pos 5 ini juga merupakan batas vegetasi.

Dari pos 5 kita ambil jalur ke kiri, jalanan mulai sangat terjal. Vegetasi berubah menjadi padang rumput di sepanjang jalur dengan alas yang tadinya tanah liat berubah menjadi bebatuan kecil yang sangat mudah longsor. Lama kita berjalan hingga 2 jam kita berjalan sampai tidak ditemui lagi pepohonan maupun rumput, hanya edelweiss di kanan kiri kita. Jalanan berbukit membuat perjalanan menjadi semakin terasa jauh karena yang tadinya kami kira puncak ternyata hanya puncak bukit. Total 3 bukit kita lalui sebelum puncak.

Perjalanan kita lanjutkan setelah selesai sholat subuh. Semburat surya mulai menyembul di batas horizon membuatku semakin tidak sabar untuk segera sampai ke puncak. Namun karena kedua teman yang masih membutuhkan waktu untuk beristirahat sejenak aku memutuskan untuk melanjutkan pendakian terlebih dahulu demi mendapatkan sunrise dari puncak Tambora. Keril berat di punggungku seakan tidak menjadi halangan bagiku kali ini, aku berjalan setengah berlari dengan kecepatan sedapat mungkin untuk mencapai puncak. 30 menit total saya butuhkan untuk mencapai bibir kawah Tambora yang lagi-lagi belum merupakan puncak Tambora.


Semburat surya sudah mulai menguning jingga mebuatku memutuskan untuk berhenti sejenak menikmati pemandangan langka itu, pemandangan yang tentunya menjadi candu bagiku untuk terus mendaki gunung. Matahari pagi itu tidak menyembul sempurna karena terhalang oleh kabut, hanya semburatnya yang mampu menembus kabut. Lama saya  menyusuri kawah Tambora untuk menikmati sunrise dari berbagai sisi hingga akhirnya matahari menyembul sempurna dan dua temanku akhirnya menyusulku.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari Pos 5 terdapat dua jalur untuk menuju ke puncak Tambora, pertama kita ambil arah kanan dari Pos 5, yang biasa disebut jalur makam karena nantinya akan dijumpai makam Mae Tafa Gumbilo, salah seorang penemu jalur pendakian Tambora sekaligus Guide, di tengah perjalanan menuju Puncak. Makam beliau ditandai dengan sebuah monument peringatan dari semen. Jalur ini lebih pendek namun dengan kemiringan konstan yang bisa dibilang lumayan ekstrim.Jalur kedua kita ambil arah kiri, jalur ini jauh lebih panjang daripada jalur makam karena sebenarnya kita memutar untuk menuju puncak apabila mengambil jalur ini. Keuntungan dari jalur ini adalah pemandangan yang ditawarkan lebih indah di malam hari apabila dibandingkan jalur satunya karena hamparan savanna diselingi pepohonan pinus berlatarkan taburan bintang. Dan juga dapat kita jumpai banyak bintang jatuh dari jalur ini, cocok untuk teman-teman yang mempunyai hobi fotografi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari bibir kawah terdekat yang kami capai dari jalur tadi, kami masih harus berjalan sekitar 45 menit untuk mencapai puncak Tambora. Fisik yang benar capai membuat satu teman kami kembali tertinggal dan tidak mencapai puncak yang sebenarnya dari Tambora, 2.851 mdpl. Dua tas keril kami tinggal bersama satu teman kami yang istirahat di bibir kawah, dan kami berlari menuju puncak mengingat siang sedikit belerang akan naik begitu cepat. Dan ya Tambora memang kembali aktif, ini dibuktikan dengan keluarnya anak gunung di dasar kawah Tambora.

7.00 WITA kami sampai di puncak Tambora. Di Puncak akan kita dapati tiang dengan bendera merah putih yang berkibar begitu megahnya. Dulunya terdapat monument di puncak ini namun akibat longsor di bibir kawah hingga 5 meter membuat monumen ini ikut terbawa longsor ke dalam kawah.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Puncak Gunung Tambora 2.851 mdpl hanya dapat dicapai dengan jalur Pancasila, kontur kawah Tambora dan kemiringan yang sangat ekstrim di beberapa lokasi membuat kedua jalur lainnya tidak dapat mencapai puncak Tambora ini.Dari ketiga jalur, jalur Pancasila dan Doropeti lah yang menawarkan perjalanan menuju ke dasar kawah. Namun untuk menuju ke dasar kawah kita diharuskan untuk disertai guide karena tingkat bahaya yang sangat tinggi. Dari hasil bincang-bincang saya dengan Pak Parno nampaknya diperlukan 7 jam total perjalanan dari bibir kawah untuk menuju dasar kawah Tambora.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
7.45 WITA kita bertiga memutuskan untuk segera turun karena belerang sudah mulai tercium tajam. Kali ini kami menggunakan jalur makam untuk menyingkat waktu perjalanan turun.
Tidak ada halangan berarti waktu kami turun dari puncak, kecuali beberapa kali kram yang dialami kedua teman saya. Total 7 jam kami butuhkan dari Puncak untuk kembali ke wisma Tambora, tidak termasuk waktu istirahat makan dan sholat.
02.00 WITA kami sampai kembali di Kota Bima untuk kembali ke dunia nyata.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada April 2015, akan diselenggarakan sebuah event berskala internasional di Gunung Tambora yang bertajuk “TAMBORA MENYAPA DUNIA”. Hal ini untuk memperingati 200 tahun meletusnya Tambora yang memang begitu dahsyatnya hingga menghilangkan 3 kerajaan di Pulau Sumbawa dan berpengaruh hingga ke Eropa dan Amerika Utara.

-------------------------------------------------------------------------------------------------



Kru: Amin Rasyidi, Fahrizi, Parman, Yayak
Teks: Amin Rasyidi
Foto: Amin Rasyidi