Kamis, 18 September 2014

PAPANDAYAN, NEGERI IMPIAN (sebuah catatan perjalanan - 2.665 mdpl)


Berawal dari ajakan sahabatku di sela-sela kegiatan diklat Oktober 2013, akhir Desember 2013 akhirnya sampai juga aku di Terminal Guntur, Garut. Namun jauh pagi sebelumnya kami telah sampai di Stasiun Tasik untuk bertemu rombongan kami dari Jogja, tiga wanita perkasa yang juga akan ikut pendakian ini. Dari stasiun Tasik kami menyewa dua angkot untuk menuju pertigaan, yang entah apa itu namanya aku lupa, dengan ongkos 100 ribu. Dari pertigaan ini kami melanjutkan perjalanan ke Garut menggunakan mobil elf yang memang sudah biasa mengantarkan para pendaki dengan ongkos carter 350 ribu. Dua jam perjalanan kami menuju Garut melewati alam pedesaan yang masih asri dengan jalanan berkelok-kelok dengan sawah terasiring di kanan kiri sebagai penghias, hingga akhirnya kami tiba di Terminal Guntur, Garut sekitar jam 7.

Bermula dari terminal ini lah hiruk pikuk mulai terjadi karena calo-calo terminal mulai beraksi, tak banyak yang bisa kami lakukan untuk menghindari calo-calo ini. Singkat cerita kami pun mau tidak mau harus berurusan dengan para calo dan dikenakan tarif tinggi untuk menuju ke Desa Cisurupan menggunakan angkot. Untuk menuju Desa Cisurupan diperlukan waktu kira-kira satu jam.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Terminal Guntur, Garut merupakan titik tolak pertama pendakian tiga gunung, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, dan Gunung Cikurai. Maka tak heran banyak calo-calo yang wajahnya akan selalu kita lihat begitu sampai di Terminal Guntur karena menjadi calo memang sudah menjadi pekerjaan tetap mereka.
Untuk menghindari calo-calo ini sebenarnya kita bisa berhenti di Pertigaan atau Bundaran Tarogong untuk kemudian menyewa angkot, yang tentu dengan tarif yang lebih murah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Di desa Cisurupan, yang bisa dikatakan sebagai Desa terakhir sebelum menuju pintu gerbang pendakian, kami beristirahat sejenak untuk melemaskan otot. Terdapat semacam perkumpulan sopir mobil pickup di desa ini yang memang mengkhususkan mobilnya untuk digunakan sebagai angkutan para pendaki. Perkumpulan ini menetapkan tarif standar bagi tiap mobil pickup yang akan mengangkut para pendaki ke gerbang pendakian Papandayan sebesar 200 ribu dengan kapasitas maksimal 20 orang.

Dari desa Cisurupan ke gerbang pendakian dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Disini keahlian sopir mobil benar-benar diuji karena harus melewati medan yang sangat terjal menanjak dan berkelok. Bahkan dalam perjalanan kami waktu itu terdapat satu mobil pickup yang tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan ke atas hingga akhirnya penumpangnya harus dialihkan ke mobil yang lain. Di tengah sensasi menegangkan melewati jalanan ini kami dapat menyaksikan dari kejauhan gunung Ciremai yang begitu kokoh dengan puncaknya yang diselimuti awan. Sempat terceletuk dariku dan beberapa kawan untuk berkeinginan mendakinya suatu hari nanti. (yang akhirnya kesampaian juga , namun akan kukisahkan di cerita yang berbeda)

Jam 10 kami sampai di gerbang pendakian Gunung Papandayan, Camp Davis. Camp Davis merupakan pos registrasi bagi para pendaki yang akan melakukan pendakian ke Gunung Papandayan, setiap pendaki diwajibkan menyerahkan fotokopi KTP atau kartu identitas lainnya dan uang pendaftaran sebesar 10 ribu.

Selain sebagai pos registrasi Camp Davis juga menyediakan pelataran yang luas untuk tempat parkir bagi para pendaki yang membawa kendaraan pribadi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari sini sebenarnya terdapat dua jalur pendakian, yang satu jalur umum yang memang biasa digunakan oleh para pendaki, dan yang kedua jalur yang kurang populer. Dari pos registrasi untuk mencapai jalur pendakian umum dan biasa digunakan kita hanya harus berjalan lurus mengikuti jalan. Sedangkan jalur yang kedua berada di belakang mushola di arena Camp Davis.
Perbedaan dari kedua jalur ini adalah apabila kita menggunakan jalur umum kita akan melewati kawah, Pos Simaksi, Pondok Salada, Hutan Mati, dan Tegal Alun sebelum akhirnya kita menuju ke puncak, namun sebaliknya apabila kita melewati jalur yang satunya kita akan menucu puncak terlebih dahulu baru kemudian ke situs-situs lainnya.
----------------------------------------------------------------------------

Setelah melengkapi persyaratan di pos registrasi dan berdoa demi kelancaran pendakian rombongan kami yang berjumlah 19 orang langsung melanjutkan perjalanan menggunakan jalur umum, mengingat matahari sudah sangat terik. 

Perjalanan dibuka oleh jalanan landai dengan kontur bebatuan kapur putih. Lima belas menit kami berjalanan sudah tidak ada lagi pepohonan di kanan kiri kami karena memang sudah memasuki area kawah. Walau kawah yang sebenarnya belum terlihat namun bau belerang sudah mulai tercium terbawa angin.

Terik matahari terasa sangat menyengat, namun seakan tak terasa karena pemandangan yang ditawarkan begitu indah. Memang di sinilah letak keistimewaan Gunung Papandayan, sebab dari awal melakukan perjalanan hingga sampai ke puncak nantinya kami senantiasa disuguhi pemandangan yang memang benar-benar indah. Bebatuan putih terjal berlatarkan hamparan langit biru dengan awan-awannya yang cantik serta perbukitan hijau di kejauhan nan asri akan menjadikan perjalanan tak terasa walaupun matahari sudah sangat tinggi.

Seringkali kami berhenti untuk sekedar berfoto bersama dan mengabadikan keindahan alam yang memang akan sangat sayang apabila dilewatkan.

Setelah sekitar setengah jam berjalan kami sampai juga di Kawah Mas yang terletak di sebelah kiri. Dari sini bau belerang akan sangat menusuk sehingga masker wajib dikenakan di area ini. Asap yang selalu mengepul mewarnai pemandangan di kawasan kawah ini mengingat memang Gunung Papandayan masih sangat aktif. Sebenarnya terdapat empat kawah di sini yaitu Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk, namun aku tak dapat membedakannya.

Setelah melewati areal kawah kami melewati jalanan terjal tandus berkelok namun demikian tetap dengan pemandangan yang menakjubkan.

Jalanan tandus ini akan berakhir dengan jalan menurun membelah lembah. Di dasar lembah kami bertemu dengan sungai yang airnya sangat jernih. Namun mengingat sungai ini masih berada di kawasan kawah sangat tidak disarankan untuk mengambil air dari sungai ini karena kemungkinan besar mengandung belerang, pun demikian karena rasa penasaran yang lebih tinggi aku sempatkan untuk mencoba meminum air dari sungai ini :D. Segar!!

Dari sungai ini, di sebelah kiri terlihat dari kejauhan terdapat air terjun yang berhiaskan dinding dari bebatuan yang eksotis, namun jalur untuk menuju ke sana mungkin belum diketahui oleh umum sehingga kami pun belum dapat mengunjunginya.

Perjalanan kembali kami lanjutkan, hingga kami menemukan percabangan tidak jauh dari sungai. 
----------------------------------------------------------------------------
Terdapat dua jalan dari sini, kita dapat mengambil jalan lurus atau ke kiri. Apabila kita lurus kita akan dihadapkan dengan medan yang lumayan menanjak namun pendek, sedangkan apabila kita mengambil jalan ke kiri kita akan melewati jalur yang landai namun panjang karena memutar. 
----------------------------------------------------------------------------
Kami memutuskan untuk mengambil jalan ke kiri. mengingat banyak dari kami yang merupakan pendaki pemula termasuk aku.

Setelah kira-kira setengah jam melanjutkan perjalanan kami melewati bibir tebing yang dari sini akan dapat terlihat pemandangan yang begitu indah. Dapat terlihat pula di kejauhan terdapat danau yang cukup besar, namun lagi-lagi karena jalur untuk menuju ke sana belum diketahui umum sehingga kami belum dapat mengunjunginya.


Setelah melewati bibir tebing ini kami serombongansampai di Pos Simaksi untuk melakukan registrasi ulang. Pos ini selain berguna untuk mencegah para pendaki-pendaki liar, juga berguna untuk mengontrol jumlah para pendaki yang akan berkemah di Pondok Salada. Apabila jumlah pendaki telah melebihi batas maksimal kuota Pondok Salada maka para pendaki akan disarankan untuk berkemah di Pos Simaksi ini.

Dari Pos Simaksi ini Pondok Salada hanya tinggal setengah jam lagi dan sekitar siang jam 2 kami tiba di Pondok Salada. Pos ini dinamakan Pondok Salada karena banyak terdapat tumbuhan selada, namun bukan daun selada yang biasa kita makan melainkan selada hutan yang rasanya ada sedikit wanginya.

Begitu sampai, kita langsung menentukan tempat untuk mendirikan kemah dan langsung mendirikannya sedangkan para wanita perkasa mendapatkan tugas untuk memasak. 

Di kawasan Pondok Salada ini terdapat hamparan edelweiss yang sangat luas namun tak seluas di Tegal Alun. Di saat matahari mulai menguning hamparan edelweiss akan tampak begitu eloknya sehingga tak jarang kita jumpai pasangan yang melakukan foto prewedding di sini, begitupun sore itu terdapat sepasang kekasih yang melakukan sesi pemotretan di sekitaran Pondok Salada.

**************
Malam harinya angin berhembus sangat kencang di areal Pondok Salada, menyebabkan banyak dari kami yang menggigil kedinginan. Namun semua itu tak begitu terasa karena hamparan langit di atas yang begitu indah dengan bintang gemintangnya yang memukau. Langit di kawasan ini masih sangat bersih dan jauh dari pencemaran udara, ini lah yang menyebabkan bintang-bintang begitu jernih terlihat.
**************

Jam 5 pagi kami mulai bangun, dan setelah sholat subuh kami langsung berburu sunrise. Namun terdapat miskomunikasi di antara kami sehingga menyebabkan rombongan kami terpisah menjadi dua. Rombonganku berjumlah 13 orang dan rombongan lainnya enam orang. Rencana awal sebenarnya kami akan menuju Hutan Mati dulu, namun rombongan satunya mengira bahwa kami akan menuju Tegal Alun terlebih dahulu.


Dari Pondok Salada kami melewati aliran sungai yang merupakan satu-satunya sumber air di situ, kemudian menyusuri jalan setapak dan akhirnya belok kiri. Hutan mati dulunya merupakan kawasan hutan namun akibat erupsi Gunung Papandayan di tahun 2002 pepohonan di sini mati dan menghitam. Namun di sinilah terletak keindahan hutan mati, pepohonan yang telah mati bukannya roboh namun tetap dengan kokohnya berdiri. Tidak hanya itu unsur belerang dalam tanah di kawasan ini menyebabkan tanah menjadi memutih sehingga menambahkan kesan eksotis pada Hutan Mati. Namun tidak selesai sampai di situ, semburat jingga matahari pagi dan lapisan uap air tipis yang menyelimut menjadikan Hutan Mati begitu lengkap.

Setelah puas menikmati keindahan hutan mati, kembali terjadi perpecahan di antara kami >.<

Aku dan Tebe memutuskan untuk menuju puncak, namun tidak dengan 11 orang yang lain. Akhirnya berbekal petunjuk arah seadanya kami berdua nekat menuju puncak. Waktu itu kami berdua belum punya pengalaman sama sekali dalam hal pendakian dan belum tahu betapa bahayanya terpisah dari rombongan, beruntunglah tidak terjadi apa-apa waktu itu.
----------------------------------------------------------------------------
Untuk teman-teman yang melakukan pendakian dengan jumlah yang besar terutama dengan banyak pendaki pemula, persiapan perbekalan terutama air harus dipikirkan dengan benar-benar matang. Hal ini mengingat pendaki pemula cenderung akan lebih banyak menghabiskan air, terutama aku waktu itu :D
Namun selain itu unsur kehati-hatian dan koordinasi harus dijadikan patokan utama, terutama dalam pendakian-pendakian di Gunung yang memiliki jalur berat dengan banyak jalur. 
SANGAT TIDAK DISARANKAN UNTUK MEMISAHKAN DIRI DARI ROMBONGAN!!!!!  
----------------------------------------------------------------------------

Dari hutan mati terdapat petunjuk arah menuju puncak, jalanan menuju Puncak lumayan menanjak namun tidak panjang dan tetap menawarkan banyak bonus. Terdapat sebuah tanjakan yang terkenal di sini yaitu Tanjakan Mamang, tanjakan ini memiliki tingkat kemiringan yang lumayan curam sehingga untuk pendaki pemula sepertiku waktu itu terasa sangat berat. Namun itu semua terbayar lunas sudah ketika kami sampai di Tegal Alun. Dan di sini pula kami berdua akhirnya bertemu dengan enam orang dari rombongan satunya.

Hamparan edelweiss yang begitu luas tersaji di depan kami, sejauh mata memandang ke manapun yang tampak hanyalah edelweiss yang begitu cantik. Latar perbukitan dan langit biru berawan cerah melengkapkan keindahan Tegal Alun ini.

----------------------------------------------------------------------------
Banyak yang mengira bahwa Tegal Alun merupakan puncak dari Gunung Papandayan, namun sebenarnya tidak. Hal ini dikarenakan sedikitnya petunjuk jalan menuju puncak. Letaknya pun bisa dikatakan tidak mudah dilihat, karena dari kawasan tegal alun selepas tanjakan Mamang, kita masih harus berjalan sekitar 10 menit untuk menemukan petunjuk jalan menuju puncak.
----------------------------------------------------------------------------

Nampaknya enam orang dari rombongan satunya ini telah mencoba mencari jalan menuju puncak namun tidak menemukannya. Beruntunglah waktu aku dan Tebe datang, terdapat rombongan lain yang juga akan menuju puncak sehingga kami membuntutinya dari belakang dan akhirnya menemukan papan petunjuk jalan. 

Edelweiss masih terhampar luas ketika kami menemukan sumber air yang begitu jernih mirip kolam ikan namun alami. Kolam air ini begitu indahnya menyembulkan tanaman-tanaman air serta rerumputan yang tumbuh di dasarnya. Jernihnya air disini mengaburkan kedalamannya yang sebenarnya lumayan dalam sekitar 2 meter menurut perkiraanku.

**************
Jalanan memutari bukit kami lalui sebentar sebelum kemudian kami masuk ke jalanan hutan yang bisa dibilang lumayan lebat dan lembab. Waktu itu memang musim hujan sehingga jalanan menuju puncak masih sedikit rimbun, jaring laba-laba pun masih melekat erat pada pepohonan sehingga sedikit mengganggu perjalanan kami. Beruntungnya dari sini banyak terdapat tanda petunjuk jalan dari tali rafia di kanan kiri sehingga memudahkan untuk mengetahui jalur mana yang harus dipilih.

Satu jam kami berjalan dengan medan yang lumayan menantang hingga akhirnya kami mendapati sebuah bukaan tanah yang lumayan luas, tidak ada petunjuk tulisan atau pun patok titik triangulasi. Namun kami meyakini ini lah puncak Papandayan 2.665 mdpl karena jalan setapak setelahnya terus menurun. Pemandangan kawah dari atas yang eksotis menjadikannya satu-satunya daya tarik di Puncak Papandayan.

----------------------------------------------------------------------------
Gunung Papandayan yang terkenal akan keindahannya dengan medan yang bisa dibilang ringan, sangat cocok bagi teman-teman yang ingin mencoba melakukan pendakian dan merasakan betapa eloknya pesona yang ditawarkan gunung
Gunung Papandayan juga sangat cocok untuk menimbulkan kecintaan kita terhadap alam untuk kemudian tergila-gila olehnya. 
"Tak banyak yang kutahu soal pendakian waktu itu, yang kutahu hanyalah persiapan fisik yang matang. Sedangkan segala macam peralatan, perlengkapan, dan perbekalan semua diurus teman-temanku, aku benar-benar buta dan tak tahu apa-apa. Hanya jaket tebal, sarung tangan, dan masker yang kupersiapkan, keril pun tak ada.
Tak ada sedikitpun terbersit dalam pikiranku bahwa aku akan tergila-gila oleh pesona gunung. Waktu itu aku hanya berniat mencari selingan di tengah penatnya kehidupan Jakarta.
Namun dalam pendakianku di Papandayan mataku terbuka begitu lebarnya. 
Hembusan angin yang begitu segar memenuhi dada. Semburat jingga semu kekuningan matahari pagi dengan lapisan uap air tipis yang berarak bederak tertiup. Pegunungan perbukitan hijau berlapis-lapis terbingkai langit biru dengan awan-awan cantiknya yang begitu luas. Pesona yang takkan kita dapatkan di manapun kecuali di gunung. Bahkan pesonanya dapat mendamaikan siapapun apapun masalahnya, 
Ini lah sebenarnya candu gunung bagiku"



Teks: Amin Rasyidi
Foto: Githa Adhi
Kru dari kiri:
Atas: Wahyu, Deny, Inna, Yenni, Naris, Ryan, Anom, Endah, Alfian, Nerva, Dian
Tengah: Tebe, Arif, Amin, Cahyo, Charis, Githa
Bawah: Puteri, Indah






Tidak ada komentar:

Posting Komentar